Senin, 13 Desember 2010

MELAKUKAN KESALAHAN BUKANLAH HAL YANG BESAR

MELAKUKAN KESALAHAN BUKANLAH HAL YANG BESAR

            Pencrahan berarti tidak ada lagi kemaran yang tersusa di dalam hati Anda. Tidak ada lagi keinginan pribadi atau kegelapan batin yang terpendam dalam hati.
            Dalam kehidupan ini, kita sering lupa bahwa melakukan kesalahan bukanlah suatu hal yang besar. Dalam Ajaran Buddha tidaklah menjadi soal bila seseorang melakukan kesalahan. Tidaklah mengapa jika tidak sempurna. Menakjubkan bukan? Ini berarti kita mempunyai kebebasan seorang manusia, daripada beranggapan bahwa diri kita merupakan seorang yang luar biasa dan hebat, yang tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Tentu akan sangat menakutkan kesalahan-karena pada dasarnya kita bias melkukan kesalahan-sehingga bila kita berbuat salah maka kita akan berusaha menyembunyikan dan mencoba untuk menuupinya. Rumah pun kemudian bukan lagi tempat damai, tenang dan nyaman. Tentu saja orang yang berpandangan skeptis akan berkata, “jika Anda memperbolehkan orang untuk melakukan kesalahan, kapan mereka akan belajar? Mereka bahkan akan terus melakukan lebih banyak kesalahan lagi”. Tetapi sebenarna cara kerjanya bukanlah demikian. Sebagai gambaran, ketika saya mesih remaja, ayah saya berkata kepada saya bahwa ia tidak akan pernah mengusir ataupun menutup pintu rumahnya dari saya. Tidak perduli apapun yang saya lakukan, saya akan selalu diterima disana, bahkan jika saya melakukan kesalah terburuk sekalipun. Ketika saya mendengar hal itu, saya memahaminya sebagai ungkapan cinta, ungkapan penerimaan. Hal tersebut menginspirasi saya dan saya begitu menghormatinya sehingga saya tidak ingin menyakitinya. Saya tidak ingin menimbulkan masalah baginya san oleh sebab itulah saya bahkan berusaha lebih keras untuk menjadi pantas berada di rumahnya.
            Jika kita mencoba hal tersebut terhadap orang-orang yang hidup di sekeliling kita, kita akan tahu bahwa hal ini akan memberi mereka kebebasan dan ruang untuk merasa tenang dan damai, serta menghilangkan semua ketergantungan. Dengan kondisi yang demikianlah maka akan timbul rasa hormat dan perduli pada orang lain. Jadi, saya menantang Anda mencoba memperbolehkan orang-orang untuk melakukan kesalahan-kesalahan pada pasangan, orang tua atau anak-anak Anda, “pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, tidak perduli apapun yang kamu lakukan.” Katakana juga kepda diri Anda, “Pintu rumahku akan selalu terbuka untukku.” Perbolehkanlah diri Anda untuk melakukan kesalahan juga. Dapatkah Anda mengingat semua kesalahan yang telahAnda lakukan dalam seminggu terakhir ini? Bisakah Anda membiarkannya, masih bisakah Anda menjadi seorang sahabat bagi diri Anda sendiri? Hanya pada saat kita memperbolehkan diri kita sendiri untuk melakukan kesalahan maka kita akan merasa nyaman.
            Itulah yang kita sebut sebagai belas kasih, metta, cinta kasih. Ia harus tanpa pamrih. Jika Anda hanya mencintai seseorang karena mereka melakukan sesuatu yang Anda sukai tau karena mereka selalu memuaskan segala pengharapan Anda, maka cinta tersebut tidak akan begitu berarti. Jadinya hanya seperti transaksi bisnis cinta, “Saya akan mencintaimu jika kamu membalas apa yang kuberikan padamu.”
            Ketika saya baru menjadi seorang bhikku, saya beranggapan bahwa para bhikku haruslah sempurna. Saya berpikir bahwa mereka tidak pernah boleh melakukan kesalahan; ketika sedang duduk meditasi, mereka harus selalu duduk dengan tegak. Tetapi bila Anda pernah duduk meditasi pada pukul 04.30 dini hari, terutama setelah bekerja keras sehari sebelumnya, Anda akan merasakan kelelahan yang teramat sangat, tubuh Anda dapat terperosot turun, dan Anda bahkan bisa terangguk-angguk karena rasa kantuk. Tetapi itu tidak mengapa. Adalah wajar bila melakukan kesalahan. Nah, sekarang sapatkah Anda merasakan betapa nyamannya perasaan, betapa semua ketegangan dan tekanan sirna disaat Anda memperbolehkan diri Anda melakukan kesalahan?
            Masalahnya adalah kita cenderung membesar-besarkan kesalahan dan melupakan keberhasilan, sehingga menciptakan begitu banyak beban berat dan rasa bersalah. Oleh sebab itu kita seharusnya mengalihkan pemikiran kita pasa keberhasilan dan hal-hal baik yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita. Kita dapat menyebutnya sifat keBuddhaan yang ada dalam diri kita. Jika Anda beralih pada hal-hal positif tersebut, maka ia akan tumbuh berkembang; sebaiknya jika Anda mengalihkannya pada kesalahan-kesalahan yang terjadi, maka merekalah yang akan tumbuh. Jika Anda cenderung memikirkan sesuratu hal dalam benak Anda, pikiran apapun itu, maka ia akan tumbuh dan tumbuh, bukankah demikian?
            Oleh karena itu, kita harus menanamkan dalam hati kita untuk selalu berpikiran positif, murni, penuh kebaikan, dan penuh dengan cinta tanpa syarat – yaitu bersedia menolong, dan bahkan mengorbankan kenyamanan kita demi kepentingan makhluk lain. Inilah cara untuk menghargai nurani kita, hati kita. Dengan demikian memafkan kesalahannya, kita dapta merenungkan kemuliaan, kemurnian, dan kebaikan dari hati kita. Kita bisa menerapkan hal yang sama pada orang lain, kita bisa merenungkan kebajikan mereka dan mengamatinya tumbuh berkembang.
            Inilah yang kita sebut kamma – perbuatan; cara kita berpikir mengenai kehidupan, cara kita berbicara mengenai kehidupan, cara kita berbicara mengenai kehidupan, dan apa yang kita lakukan dengan kehidupan. Dan apa yang kita lakukan benar-benar terserah kepada kita, bukan sesuai kehendak suatu makhluk adikuasa luar biasa di atas sana yang menentukan apakah Anda akan bahagia atau tidak. Kebahagian Anda sepenuhnya berada di tangan Anda, dalam kendali Anda. Inilah yang kita maksudkan dengan kamma. Sama seperti membuat kue, kamma menggambarkan bahan-bahan apa yang Anda miliki untuk dijadikan kue. Jadi seseorang dengan kamma yang kurang bagus, sebagai hasil dari perbuatan lampau mereka, tidak memiliki banyak bahan yang tersedia. Mungkin meeka hanya memiliki sejumlah mentega tengik dan – apa lagi ya bahan untuk mebuat kue? -  sedikit gula… itu sajalah yang mereka punya untuk membuat kue. Dan orang lain mungkin memiliki kamma yang sangat bagus, semua bahan yang Anda idamkan tepung gandum berkualitas, gula merah dan semua jenis buah yang dikeringkan serta kacang-kacangan. Namun hasil akhirnya… bisa saja walaupun dengan bahan-bahan yang amat minim, ada orang yang dapat menjadikannya ke dalam oven – hmm.. lezat! Bagaimana mereka melakukannya? Sebaliknya ada orang yang mungkin mempunyai segalanya, tetapi malah menghasilkan kue yang rasanya tidak karuan.
            Jadi kamma adalah bahan baku yang kita miliki untuk diolah, tetapi tidak sepenuhnya menentukan hasil akhirnya. Jika seseorang bijaksana, tidaklah menjadi soal bahan apa yang ia miliki untuk diolah. Anda masih bisa membuat kue yang indah – asalkan Anda tahu caranya.
            Tentu saja hal pertama yang harus diketahui adalah bahwa cara terakhir untuk membuat kue yang bagus adalah dengan selalu mengeluh tentang bahan-bahan yang Anda miliki. Kadang-kadang di vihawa, jika ada satu bahan yang kuran, orang-orang yang sedang memasak akan mecari kedapur dan cukup menggunakan apapun yang tersedia. Mereka cukup terampil dan Anda akan mendapatkan kue yang sangat aneh, tetapi semuanya terasa lezat, karena mereka telah belajar mengunakan apa yang mereka miliki dan menghasilkan sesuatu darinya.
            Jadi kemana arah kamma? apa yang sebenarnya sedang kita buat darinya? Apakah kekayaan, atau kekuasaan? Tidak. Meditasi ini, ajaran Buddha ini, arah yang kita tuju, adalah kea rah Pencerahan. Kita sedang menggunakan bahan-bahan yang kita miliki untuk mencapai Pencerahan. Tetapi sebenarnya apa arti Pencerahan itu? Pencerahan berarti tidak ada lagi kemarahan yang tersisa di dalam hati Anda. Tidak ada lagi keinginan pribadi ataupun kegelapan bathin yang tersisa didalam hati Anda.
            Suatu ketika ada seorang guru Rusia bernama Gurdjief yang memiliki sebuah komunitas di Pancis. Di dalam komunitasnya, ada seorang pria yang benar-benar menjengkelkan. Ia selalu menggangu orang-orang dan menyusahkan mereka. Maka komunitas itu mengadakan pertemuan dan mereka meninta Gurdjief mengusirnya, mengeluarkannya, karena dia selalu menciptakan percekcokan dan membuat orang-orang tidak bahagia. Tetapi Gurdjief tidak pernah mau. Akan tetapi kemudian, setelah ia meninggal, mereka baru menyadari bahwa sebenarnya ialah yang membayar pria itu untuk menetap disana! Setiap orang yang ada di sana harus membayar untuk makanan dan tempat tinggal. Tetapi Gurdjief ternyata malah membayar pria itu agar menetap disana – untuk mengajarkan suatu hal kepada orang-orang disana. Jika Anda hanya bisa bahagia ketika Anda hidup dengan orang-orang yang Anda suka, kebahagiaan Anda itu sama sekali tidak bernilai, karena Anda memang tidak berada dalam keadaan yang terganggu. Sama seperti segelas air berlumpur, ketika belum diaduk, bukankah kelihatannya jernih? Tetapi seketika setelah diguncang, Lumpur muncul dari dasar gelas dan air menjadi keruh. Alangkah baiknya mengaduk gelas Anda untuk melihat apa yang sebenarnya terdapat di dalamnya. Maka pada saat masih hidup, Gurdjief membayar pria ini untuk mengaduk setiap orang untuk melihat apa yang terdapat di dalam mereka.
            Indikator yang sangat bagus untuk menilai sejauh mana tahap kehidupan spiritual seseorang adalah dengan melihat sebaik apa ia berhubungan dengan orang lain – terutama dengan orang yang tidak menyenangkan. Bisakah Anda merasa damai ketika seseorang menyusahkan Anda? Bisakah Anda membuang kemarahan dan kejengkelan terhadap seseorang, terhadap suatu tempat atau terhadap diri Anda sendiri? Pada akhirnya kita harus bisa melakukannya, jika tidak, kita tidak akan pernah mendapatkan Pencerahan, kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian.
            Bayangkan bagaimana rasanya berkata, “Saya tidak akan pernah merasa jengkel lagi, saa tidak akan menentang atau menolak seseorang maupun kebiasaan-kebiasaan mereka. Ika saya tidak bisa melakukan apapun terhadap hal tersebut maka saya akan belajar untuk hidup berdampingan secara damai dengan sesuatu yang tidak saya sukai itu. Daripada selalu mengalihkan diri dari kepedihan dan mencari kesenangan semata, saya akan belajar menerima kepedihan itu dengan damai.” Coba bayangkan!
            Kadang-kadang orang berpikir bahwa jika Anda tidak marah maka Anda cenderung hanya menjadi orang yang pasrah dan pasif, Anda memabiarkan orang lain menginjak Anda, Anda menjadi orang yang hanya duduk berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Tetapi tanyalah pada diri Anda, “Bagaimana perasaanku setelah marah? Apakah saya merasa berapi-api, penuh semangat?” kita akab kelelahan ketika marah; kemarahan menghabiskan begitu banya energi kita. Bahkan ketika kita merasa jengkel atau berpikiran negatif terhadap seseorang atau suatu tempat, itupun sudah menghabiskan energi. Maka jika kita tidak ingin merasa jengkel. Lihat betapa kita akan menjadi lebih sigapdan lebih bergairah. Kemudian kita dapat memancarkan enargi itu dalam bentuk kepedulian terhadap sesame dan juga terhadap diri kita sendiri. Kita memiliki kekuatan untuk melakukan hal ini. Jika Anda benar-benar ingin mendapatkan jalur cepat menuju Pencerahan, cobalah dengan menghentikan kejengkelan dan kemarahan.
            Jadi, bagaiman cara menghentikannya? Pertama-tama, dengan menginginkannya berhenti. Tetapi kebanyakan dari kira tidak menginginkan berhentinya kemarahan dan kejengkelan tersebut – dengan alas an yang tidak jelas kita menyukainya. Ada sebuah cerita pendek yang menarik mengenai dua orang bhikku yang tingal bersa,a-sama di sebuah vihara selama bertahun-tahun, mereka bersahabat karib. Kemudian merekapun meninggal dengn perbedaan kurun waktu beberapa bulan. Salah seorang dari bhikku tersebut terlahir kembali di alam surga, sedangkan yang satunya lagi terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran. Ia yang berada di alam surga mendapatkan kehidupan yang menyenangkan, menikmati semua kesenangan surgawi. Kemudian ia mulai meikirkan sahabatnya, “Saya ingin tahu dimanakah sahabat lama saya?” maka ia menerawang semua alam surga, akan tetapi ia tidak menemukan jejak sahabatnya. Kemudian ia menerawang alam manusia, tetapi ia juga tidak menemukan jejak sahabatnya disana. Jadi ia mencarinya di alam binatang dan kemudian serangga. Akhirnya ia menemukannya, sahabatnya terlahir kembali sebagai seekor cacing di setumpuk kotoran… wah! Ia berpikir, “Saya akan membantu sahabat saya. Saya akan turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan membawanya kea lam surga, sehingga ia juga bisa menikmati kesenangan surgawi dan hidup dalam kebahagiaan di alam yang menyenangkan ini.”
            Jadi ia pun turun menuju tumpukan kotoran tersebut dan memanggil sahabatnya. Caing kecil itu menggeliat keluar dan bertanya, “Siapa kamu?”,”Saya asalah sahabatmu. Kita pernah hidup bersama sebagai bhikku pada kehidupan yang lampau, dan saya bermaksud membawamu kea lam surga yang kehidupannya menyenangkan dan penuh kebahagiaan.” Tetapi cacing itu membalas, “Pergilah, menjauhlah!” “Tetapi saya sahabatmu, dan saya tinggal di alam surga.” Dan ia pun menjelaskan tentang alam surga kepadanya. Tetapi caing itu berkata, “Tidak, terima kasih. Saya cukup gembira disini, dalam tumpukan kotoran saya. Silahkan pergi.” Kemudian makhluk surga ini berpiki, “Jika saya bisa memegangnya dengan erat dan membawanya ke alam surga, ia akan bisa melihat sendiri.” Maka ia pun memegang erat cacing itu dan mulai menariknya, dan semakin kuat ia menariknya, semakin kuat pula caing itu melekat pada tumpukan kotorannya.
            Apakah Anda dapat memetik pesan moral dari cerita di atas? Berapa banyak dari kita yang melekat pada tumpukan kotoran kita? Ketika seseorang mencoba menarik kita keluar, kita terus menggeliat kembali kedalam, karena inilah yang menjadi kebiasaan kita, kita suka berada di dalamnya. Kadang-kadang kita sebenarnya melekat pada kebiasaan-kebiasaan lama kita, kemarahan kita dan keinginan kita. Kadang-kadang kita ingin marah.
            Jadi lain kali ketika Anda marah, berhentilah dan amati. Ambil waktu untuk memperhatikannya dengan penuh kesadaran untuk melihat bagaimana rasanya. Putuskan dan peringatkan diri Anda sendiri, “Lain kali ketika saya marah, saya akan merasakannya, bukannya menjadi sok pintar, memaksakan kehendak atau melukai orang lain.” Cukup perhatikan bagaimana perasaan itu. Begitu Anda menyadari bagaimana perasaan itu. Begitu Anda menyadari bagaimana rasa amarah itu dengan hati Anda – bukan dengan kepala Anda – maka Anda akan menginginkannya berhenti, karena amarah sangatlah menyakitkan, memedihkan, dan menimbulkan penderitaan.
            Seandainya saja orang-orang bisa lebih mawas diri, lebih sadar – mengetahui bagaimana rasanya, bukan memikirkannya, maka tidak akan ada persoalan lagi. Mereka akan segera membuang amarah karena amarah itu panas dan membakar. Tetapi kita lebih cenderung melihat dunia ini dengan kepala daripada dengan hati kita. Kita memikirkannya, tetapi kita sangat jarang merasakannya, menyelami bagaimana rasanya. Meditasi membawa Anda berhubungan kembali dengan hati Anda; dan tanpa pemikiran dan keluh kesah, yang merupakan sumber dari semua amarah dan nafsu keinginan.
            Ketika Anda menggunakan hati Anda, Anda bisa merasakan diri Anda sendiri, Anda bisa berdamai dengan diri Anda sendiri, Anda bisa peduli terhadap diri Anda sendiri. Ketika saya menggunakan hati, saya juga bisa menghargai perasaan orang lain. Demikianlah cara agar kita bisa mencintai musuh kira ketika kita menghargai hati mereka, terlihat bahwa disana ada yang patut untuk dicintai dan dihormati.
            Orang marah karena mereka terluka, merasa tidak nyaman. Tetapi jika kita bahagia, kita tidak akan pernha bisa marah pada orang lain, hanya jika kita merasa tertekan, lelah, frustasi, susah, ketika ada rasa sakit dalam hati kita, saat itulah kitabisa marah kepada orang lain. Jadi ketika seseorang marah kepada saya, timbul rasa kasih sayang dan kebaikan saya terhadap orang itu, karena saya menyadari mereka sedang terluka.
            Pertama kali saya mengunjungi seseorang yang dianggap telah tercerahkan, saya berpiki, “Wah! Lebiha baik saya bermeditasi sebelum saya berada salam jarak sepuluh mil darinya, karena ia pasti bisa membaca pikiran saya dan hal ini tentu saja sangat memalukan!” akan tetapi seseorang yang tercerahkan tidak akan bertindak kejam dan menyakiti Anda, seseorang yang tercerahkan akan menerima Anda apa adnya dan memberi Anda rasa nyaman. Sungguh perasaan yang luar biasa,bukan? Mereka menerima diri Anda apa adanya. Anda bisa rileks, bebas dari amarah dan rasa jengkel. Ada suatu rasa pengertian yang luar biasa yang membuat Anda merasa sangat nyaman. Betapa banyak penderitaan yang dapat disingkirkan dari kehidupan manusia, betapa merupakan kebebasan yang luar biasa bagi orang-orang untuk berkontribusi bagi dunia, untuk melayani di dunia ini, bila akhirnya mereka menyadari bahwa mereka akan tetap diterima meski melakukan kesalahan. Mereka tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk mebenarkan diri mereka, mengubah diri mereka, dan selalu takut melakukan kesalahan. Ketika Anda merasa nyaman dengan diri Anda, maka Anda akan merasa nyaman dengan orang lain, tidak menjadi soal siapapun mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar