D é j à V u
Oleh U Nyanabahu
Beberapa waktu yang lalu, sebelum saya benar-benar menekuni profesi saya sebagai seorang ‘Penapak Jejak Kaki Sang Guru’, saya sering mengalami beberapa kejadian yang sangat aneh dimana seolah-olah tempat kejadiannya, waktu terjadinya, keadaannya, orangnya, ucapan-ucapannya, serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dan lain sebagainya, seakan-akan semuanya pernah saya alami, lihat, atau bahkan pernah saya lakukan sebelumnya, tetapi saya tidak bisa mengingat kapan dan dimana peristiwa itu pernah terjadi. Saya baru tersadar akan situasi tersebut setelah kejadian itu berlangsung ataupun sedang berlangsung dalam waktu beberapa lama. Barangkali anda juga pernah atau bahkan sering mengalami hal yang sama?
Dalam bahasa tren-nya, keadaan yang aneh tersebut dikenal dengan sebutan fenomena déjà vu. Déjà Vu (baca dei Ʒa’ vu), adalah sebuah istilah yang diambil dari bahasa Perancis yang kalau ditranslate ke dalam bahasa Inggris kurang lebih akan memiliki arti demikian ; ‘The strange feeling that in some way you have experienced already what is happening now’, (Cambridge International Dictionary of English). ‘Feeling that one remembers an event or scene that one has been experienced or seen before or too often’, (Oxford Advanced Learner’s of Current English). Jika diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih akan menjadi demikian ; ‘Sebuah keadaan yang terasa asing, dimana sepertinya kita pernah mengalaminya dan sedang berlangsung saat ini’ (Cambridge), atau ‘seolah teringat akan sebuah kejadian atau pemandangan yang pernah dialami ataupun dilihat sebelumnya atau bahkan sering’ (Oxford).
Dulu, ketika saya masih sering mengalami fenomena ini, sempat terlintas didalam benak saya, mungkinkah saya telah mengidap penyakit psikis atau kejiwaan ? Lalu saya mencoba untuk mengetahui lebih jauh mengenai fenomena tersebut dengan banyak berkonsultasi ke beberapa psikiater. Mereka mengatakan bahwa saya mengalami déjà vu, yang sampai saat ini belum bisa diungkapkan secara spesifik oleh sains, namun sudah digolongkan ke dalam bagian yang belum terungkap dari psychoanalysis, yaitu ilmu yang mempelajari tentang psikis atau kejiwaan, dan sementara ini masih digolongkan sebagai psychosomatic atau kelainan mental yang kebanyakan disebabkan oleh stress, psychedelic atau halusinasi atau penyakit pikiran, ataupun karena pengaruh daya ingat yang kurang baik.
Untuk menenangkan hati saya, mereka menambahkan bahwa kejadian seperti ini merupakan hal yang biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan, lagipula tidak akan ada dampak yang buruk bagi perkembangan kehidupan jika kita bisa menjaga kesehatan mental dan memberikan santapan rohani yang cukup. Meskipun demikian, saya masih saja penasaran dan tidak cukup puas dengan keterangan para psikiater tadi. Selalu saja timbul rasa ingin tahu untuk bisa mengungkap lebih jauh ‘Apa sih sebenarnya fenomena déjà vu itu?, Apa penyebabnya, bagaimana proses kemunculannya, siapa saja yang memiliki potensi untuk dapat mengalami fenomena ini, dan apa pengaruh jangka panjang terhadap obyek yang mengalaminya ?’
Suatu kali, ketika saya baru menjadi seorang abdi Dharma, saya pernah membaca buku hasil karya Master Sheng Yen, salah seorang guru besar Ch’an -salah satu cara hidup dan praktek Buddhadharma- yang telah menerima transmisi Dharma dari silsilah Linji (Rinzai) dan Ts’ao Tung (Soto). Dalam bukunya yang berjudul « In The Spirit of Ch’an and Faith In Mind, subtitle Spirit of Ch’an » (Ch’an, Gerbang Tanpa-Gerbang▶cetak ulang oleh Suwung-Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2002), beliau sempat menyinggung sedikit soal fenomena déjà vu. Beliau menyatakan demikian; "Tapi ibarat foto impresionistik, respon-respon ini hanyalah berupa fragment-fragment – pantulan ilusif dari pengalaman, pemikiran, serta fantasi-fantasi kita – red."
Saya sempat tertarik dengan pernyataan master Sheng Yen tersebut dan menanyakannya kepada salah seorang bhikkhu senior, dan beliau menjelaskan demikian ; "Kita hidup bukan cuma sekali dan bukan cuma hari ini saja, kita bisa ada hari ini karena ada sebab yang lampau, sebab yang lampau itu ada karena ada sebab yang lebih lampau lagi, dan begitu seterusnya sampai sejak masa yang tidak dapat diperkirakan. Dan sejak masa yang tak dapat diperkirakan itu, Âlaya viññãna -yaitu kesadaran penerus sebuah mahkluk yang muncul dari banyak sekali faktor, salah satunya adalah pikiran bawah sadar/pencerapan/sanna khanda yang menyimpan ingatan- terus menerus muncul di berbagai alam kehidupan sesuai dengan penyebab yang dibuatnya kemudian (karma, dsb)." Lalu, siapakah atau bagaimana kita bisa mengetahui sejak kapan Âlaya viññãna tersebut berproses ?, lanjutnya. "Seorang Buddha, hanya seorang Buddha yang mengetahui sejak kapan Âlaya viññãna berproses, kenapa dia berproses, dan sampai kapan dia berhenti berproses, dan kita semua berpotensi untuk menjadi seorang Buddha, maka berlatihlah untuk menjadi Buddha agar kamu dapat segera mengetahui jawabannya", ujarnya menyemangatiku.
Lebih jauh beliau menjelaskan bahwa ketika Âlaya viññãna muncul di berbagai alam kehidupan, tak terhitung banyaknya peristiwa yang dialaminya, dan tak terhitung banyaknya suka-duka maupun pengalaman netral yang terjadi dan tersimpan di dalam pikiran bawah sadarnya. "Tidak usah berbicara tentang kehidupan yang lampau, kita bicara kehidupan saat ini saja. Bisakah kamu menuliskan seluruh kejadian suka-duka ataupun yang netral dalam kehidupanmu saat ini kedalam sebuah buku, atau ke dalam file computer ?, atau bisakah kamu menceritakan secara detil kepadaku apa saja yang telah kamu lakukan satu jam yang lalu ?" beliau bertanya kepadaku yang langsung kusambut dengan gelengan kepala.
Beliau terdiam sejenak, dan kemudian menyambunglah serangkaian kata-kata yang sarat filsafat ; "Segala sesuatu yang berbentuk dan terbentuk adalah tidak kekal, bersifat muncul dan lenyap, timbul dan tenggelam. Demikian pula dengan bentuk-bentuk pikiran serta ingatan, mereka selalu datang dan pergi, muncul dan lenyap. Bukannya tidak mungkin bagi Âlaya viññãna (kita), jika dalam proses yang panjang tersebut akan mengalami banyak kejadian yang hampir serupa baik keadaan, tempat, jumlah personalnya, topik pembicaraannya, atau apapun yang kita lakukan. Apalagi jika kita terikat dengan sebuah rutinitas, maka peluang untuk mengalami déjà vu semakin besar. Disaat itulah, ketika ada sedikit kesesuaian antara kondisi dengan ingatan-ingatan kita, maka bentuk-bentuk pikiran akan muncul sebagai bagian-bagian yang terpotong ataupun seperti flashback terhadap sebuah pengalaman, pemikiran, serta fantasi atau harapan-harapan kita. Akan tetapi kita tidak akan pernah tahu kapan dan dimana peristiwa itu pernah terjadi. Kenapa ?, karena semua fenomena itu boleh dikatakan serupa tapi tak sama. Kalau kita memperhatikan lebih detil lagi disaat fenomena itu sedang berlangsung, maka kita akan menemukan bahwa tidak ada kesamaan sama sekali antara peristiwa yang sedang berlangsung tersebut dengan apa yang telah kita angankan sebelumnya, meskipun demikian bukannya tidak ada kesamaan sama sekali."
Selanjutnya beliau menegaskan dan memotivasi saya demikian ; "Ada banyak sekali kemungkinan untuk dapat terjadinya fenomena déjà vu, yang tadi adalah kemungkinan pertama. Masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain, salah satunya adalah karena batin dan pikiran kita tidak atau belum terarah dengan baik. Setiap makhluk memiliki potensi yang besar untuk mengalami ini jika batin dan pikiran mereka tidak terbiasa untuk diarahkan mengamati proses hidupnya dari waktu ke waktu. Jangan biarkan dirimu mencari keramaian dan kesibukkan diluar sana untuk sekedar menutupi kesepian yang ada didalam batin, karena Jika kondisi ini dibiarkan berlama-lama maka kamu tidak akan pernah merasakan kekuatan dari ‘perubahan’ dan kamu tidak akan pernah tahu kapan mereka datang dan kapan mereka pergi, apakah mereka adalah sesuatu yang sama atau berbeda. Jika kamu terus berlatih untuk selalu hidup dari waktu ke waktu, maka tidak akan ada yang dua jika yang satu tidak ada."
Sejak saat itu saya terus berlatih untuk selalu sadar dan mengamati proses hidup dari waktu ke waktu. Saya mengamati, mungkin beberapa kejadian hampir serupa, tetapi tidak benar-benar sama, dan itu adalah kekuatan dari perubahan. Saya telah menyingkirkan sedikit biang-biang ketidaktahuan dan tidak perlu khawatir akan terjangkiti penyakit kejiwaan yang aneh lagi. Sampai dengan saat ini, saya belum pernah bertemu dengan si ‘DJ’ lagi dan saya yakin tidak akan pernah. Svaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar