Gambar : istimewa |
Tidak terasa besok tanggal 17 Februari 2011 merupakan hari ke-15 imlek yang lebih sering di sebut cap go me, mungkin sebagian dari kita belom tahu bagaimana sih asal mula atau sejarah cap go me itu sendiri,
nah disini kami akan berbagi sedikit sejarah dari cap go me itu sendiri, nama nya sejarah, tidak bisa di pastikan kebenaran atau kesalahan nya. mari kita simak...
Capgome adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian. Artinya malam ke limabelas
sedangkan lafal dialek Hakka "Cang Njiat Pan". Artinya pertengahan bulan
satu. Di daratan Tiongkok dinamakan "Yuan Xiau Jie" dalam bahasa Mandarin
artinya "Festival malam bulan satu". Capgome mulai dirayakan di Indonesia
sejak abad ke 17, ketika terjadi migrasi besar dari Tiongkok Selatan. Semasa
dinasti Han, pada malam Capgome tersebut, raja sendiri khusus keluar istana
untuk turut merayakan bersama dengan rakyatnya.
Setiap hari raya baik relijius maupun tradisi budaya ada asal - usulnya.
Pada saat dinasti Zhou (770 - 256 SM) setiap tanggal limabelas malam bulan
satu Imlek; para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan "Chau Tian
Can" di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang
perusak tanaman.
Memasang lampion-lampion selain bermanfaat mengusir hama, kini tercipta
pemandangan yang indah dimalam hari tanggal limabelas bulan satu. Dan untuk
menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah
dengan segala macam bunyi-bunyian serta bermain barongsai, agar lebih ramai
dan bermanfaat bagi petani. Kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut
turun menurun, baik didaratan Tiongkok maupun diperantauan diseluruh dunia.
Ini adalah salah satu versi darimana asal muasalnya Capgome.
Di negara barat sendiri Capgome dinilai sebagai pesta karnevalnya etnis
Tionghoa, karena adanya pawai yang pada umumnya dimulai dari Kelenteng.
Kelenteng adalah penyebutan secara keseluruhan untuk tempat ibadah "Tri
Dharma" (Buddhism , Taoism dan Confuciusm). Nama Kelenteng sekarang ini
sudah dirubah menjadi Vihara yang sebenarnya merupakan sebutan bagi rumah
ibadah agama Buddha. Hal ini terjadi sejak pemerintah tidak mengakui
keberadaannya agama Kong Hu Chu sebagai agama.
Sedangkan sebutan nama Kelenteng itu sendiri, bukannya berasal dari bahasa
Tionghoa, melainkan berasal dari bahasa Jawa, yang diambil dari perkataan
"kelintingan" - lonceng kecil, karena bunyi-bunyian inilah yang sering
keluar dari Kelenteng, sehingga mereka menamakannya Kelenteng. Orang
Tionghoa sendiri menamakan Kelenteng itu, sebagai Bio baca Miao. Wen Miao
adalah bio untuk menghormati Confucius dan Wu Miao adalah untuk menghormati
Guan Gong.
Cagomeh juga dikenal sebagai acara pawai menggotong joli Toapekong untuk
diarak keluar dari Kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin =
Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa
yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang udah tua. "Da Bo Gong" ini
sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner
dalam mengembangkan komunitas Tionghoa. Jadi istilah Da Bo Gong atau
Toapekong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.
Cagomeh tanpa adanya barongsai dan liong (naga) rasanya tidaklah komplit.
Tarian barongsai atau tarian singa biasanya disebut "Nong Shi".
Sedangkan nama "barongsai" adalah gabungan dari kata Barong dalam bahasa
Jawa dan Sai = Singa dalam bahasa dialek Hokkian. Singa menurut orang
Tionghoa ini melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.
Ada dua macam jenis macam tarian barongsai yang satu lebih dikenal sebagai
Singa Utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk, sedangkan
Singa Selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin
(kuda naga yang bertanduk).
Seperti layaknya binatang-binatang lainnya juga, maka barongsai juga harus
diberi makan berupa Angpau yang ditempeli dengan sayuran selada air yang
lazim disebut "Lay See". Untuk melakukan tarian makan laysee (Chai Qing) ini
para pemain harus mampu melakukan loncatan tinggi, sehingga ketika dahulu
para pemain barongsai, hanya dimainkan oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan silat - "Hokkian = kun tao" yang berasal dari bahasa Mandarin Quan
Dao (Kepala kepalan atau tinju), tetapi sekarang lebih dikenal dengan kata
"Wu Shu", padahal artinya Wu Shu sendiri itu adalah seni menghentikan
kekerasan.
Didepan barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yang menggunakan
topeng sambil membawa kipas. Biasanya disebut Shi Zi Lang dan penari inilah
yang menggiring barongsai untuk meloncat atau bermain atraksi serta memetik
sayuran. Sedangkan penari dengan topeng Buddha tertawa disebut Xiao Mian Fo.
Pada awalnya tarian barongsai ini tidak pernah dikaitkan dengan ritual
keagamaan manapun juga, tetapi akhirnya karena rakyat percaya, bahwa
barongsai itu dapat mengusir hawa-hawa buruk dan roh-roh jahat. Jadi budaya
atau kepercayaan rakyat itulah yang akhirnya dimanfaatkan atau bersinergi
dengan lembaga keagamaan.
Walaupun demikian pada saat sekarang ini sudah ada aliran modern lainnya
yang tidak mengkaitkan dengan upacara keagamaan sama sekali, karena mereka
menilai barongsai hanya sekedar asesories untuk nari atau media
entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung,
atau topeng dalam tarian topeng.
Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu,
Wei & Shu Han) tahun 220 - 280 sM. Pada saat itu ketika raja Song Wen
sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri
Lin Yi. Panglimanya yang bernama Zhing Que mempunyai ide yang jenius dengan
membuat boneka-boneka singa tiruan untuk mengusir pasukan gajah raja Fan.
Ternyata usahanya itu berhasil sehingga sejak saat ini mulailah melegenda
tarian barongsai tersebut hingga kini.
Tarian naga (liong) disebut "Nong Long". Binatang mitologi ini selalu
digambarkan memiliki kepala unta, bertaring serigala dan bertanduk
menjangan.
Naga di Tiongkok dianggap sebagai dewa pelindung, yang bisa memberikan
rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di Tiongkok merupakan lambang
rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari
itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air. Semua kaisar di Tiongkok
menggunakan lambang naga, maka dari itu mereka duduk di singgasana naga,
tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang Tionghoa akan
merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di tahun naga.
Kita bisa melihat apakah ini naga lambang dari seorang kaisar ataukah bukan
dari jumlah jari di cakarnya. Hanya kaisar yang diperkenankan menggunakan
gambar naga dengan lima jari di cakarnya, sedangkan untuk para pejabat
lainnya hanya empat jari. Bagi rakyat biasa yang menggunakan lambang naga
cakarnya hanya boleh memiliki tiga jari saja. Naga itu memiliki tiga macam
warna, hijau, biru dan merah, dari warna naga tersebut kita bisa melihat
kesaktiannya. Naga warna kuning adalah naga yang melambangkan raja.
Naga juga dijadikan bambang untuk mencapai sukses diperlukan keuletan,
kegigihan dan kesabaran. Laksana seekor naga yang mengejar mutiara tak
pernah lelah dan tak pernah menyerah. Adapun kepala seekor naga melambangkan
seorang pemimpin sementara badannya adalah aparatur atau pembantu dan ekor
melambangkan rakyat atau pengikutnya.
Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan naga yang panjangnya sekitar 35
m dan dibagi dalam sembilan bagian, tetapi ketika mereka menyambut tahun
baru millennium di Tiongkok pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter
dan dimainkannya di atas Tembok Besar Tiongkok.
Naga tidak selalu dihormati, sebab apabila ada musim kemarau berkepanjangan,
maka para petani mengadakan upacara menjemur naga yang dibuat dari tanah
liat untuk membalas dendam atau mendemo sang Naga yang tidak mau menurukan
hujan, seakan-akan kaum tani tersebut ingin menyatakan "Rasain Lho kering
dan panasnya musim kemarau ini!"
Terutama di Jakarta dan sekitarnya rasanya kurang komplit apabila pawai
Capgome ini tanpa di iringi oleh para pemain musik "Tanjidor" yang
menggunakan instrument musik trompet, tambur dan bajidor (Bedug). Orkes ini
sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubenur Belanda pada saat
itu sudah memiliki rombongan orkes tanjidor yang terdiri dari 15 orang
pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak-budak, oleh
sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai "Sklaven
Orkest".
Masyarakat Tionghoa di Semarang merayakan Capgome dengan menyajikan makanan
"Lontong Capgome" yang terdiri dari lontong, opor ayam, lodeh terung, telur
pindang, sate dan sambal. Sementara di Jakarta, menunya adalah lontong,
sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai.
sumber : osdir.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar